Senin, 19 Desember 2011

SIKAP”MUKA DUA”MOSKOW DALAM MENYIKAPI KONFLIK IRAK-IRAN(1980-1988)



Perang Irak-Iran merupakan salah satu konflik yang cukup memanas dan terpanjang di sepanjang sejarah Timur Tengah setelah Perang Arab-Israel. Perang ini dimulai sejak ketegangan antara dua negara yang sama-sama berkepentingan untuk menguasai akses langsung menuju teluk Persia yang terkenal kaya Minyak.  Kedua negara tersebut sempat didamaikan melalui perjanjian Algier pada tahun 1973. Namun pada tahun 1980, dengan memanfaatkan momentum revolusi Islam di Iran yang digerakkan oleh Ayatullah Khomeini, Pasukan Irak menerjang masuk ke dalam wilayah Iran.

Irak saat itu didukung oleh negara-negara Liga Arab, Uni Eropa, Amerika Serikat, NATO, bahkan adidaya komunis, Uni Soviet dan China.  Sedangkan, Iran yang saat itu sedang berada dalam euphoria revolusi harus meninggalkan euphoria tersebut untuk menghadapi tentara Irak yang sudah berada di wilayah perbatasan Iran. Sekalipun, mendapat dukungan dari banyak negara, terutama Liga Arab yang merasa begitu khawatir ketika Negara Shah yang perkasa macam Iran akhirnya runtuh oleh revolusi, Namun tentara Irak tetap gagal untuk menuntaskan Iran bahkan pada akhirnya Irak harus menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Irak dibawah pengawasan PBB disamping harus mengalami kejatuhan ekonomi karena banyaknya biaya perang yang dikeluarkan terus-menerus.

Namun, yang dibahas secara mendalam bukanlah kisah perang besar kedua negara tersebut tetapi yang menarik adalah sikap Uni Soviet selaku adikuasa dalam peperangan ini. Dalam peperangan ini pada awalnya Uni Soviet lebih condong ke Irak daripada Iran. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat Irak pada rezim Abdul Karim Qassim (1958-1963), dan Abdurrahman Aref (1964-1968) menjadi mitra utama Uni Soviet khususnya ketika Irak terlibat dua perang besar Arab-Israel seperti Perang Enam Hari (1967) dan Yom Kippur (1973) sedangkan Iran saat itu merupakan Monarki yang dipegang oleh Shah Muhammad Reza Pahlevi hingga revolusi Islam Iran yang menumbangkannya pada tahun 1979 telah menjadi mitra paling Amerika Serikat dan Inggris terutama pasca kejatuhan perdana menteri Dr. Muhammad Mossadeq pada tahun 1963.

Sehingga mudah dipahami mengapa Uni Soviet pada awal perang cenderung lebih mendukung Irak daripada Iran yang sebelumnya dekat dengan negara-negara barat. Namun dalam konflik ini, terjadi perkembangan sikap politik yang agak aneh. Uni Soviet yang awalnya selalu mendukung Irak mulai memberi dukungan terpisah kepada Iran bahkan Amerika Serikat pun juga walaupun membenci rezim baru Pemerintah Iran tetapi tetap menyuplai Iran dengan sejumlah rudal canggih meskipun faktor penyanderaan staf kedutaan AS di Teheran tetap diperhitungkan.

Apakah penyebab dari sikap dua muka pemerintah Moskow ini, satu sisi mendukung Baghdad namun sisi lainnya mendukung Teheran? Penyebabnya adalah karena sikap oportunis Moskow dalam membaca keadaan politik di kedua negara. Pemerintah Iran yang saat itu berdiri adalah pemerintahan dengan landasan Islam dan kebijakan politiknya saat itu sangat anti Amerika karena anggapan masyarakat bahwa Shah Iran adalah boneka Washington. Sehingga Moskow mengambil sikap untuk melakukan pendekatan kepada pemerintah baru Iran dengan harapan Moskow dapat ikut campur kembali dalam urusan Timur Tengah pasca peperangan besar Arab-Israel. Namun sikap pemerintah Moskow ini dibuat lebih berhati-hati agar tidak menyinggung Baghdad.Perkembangan hubungan Moskow-Teheran adalah melalui kerjasama militer yang merupakan salah satu bentuk pendekatan klasik ala Soviet.

Kasus sikap “muka dua” Moskow ini menunjukkan bahwa Timur Tengah masih merupakan wilayah strategis secara politik. Kasus yang sama terjadi dalam Yom Kippur (1973) ketika Amerika Serikat sudah resmi menjadi kawan setia Israel bahkan melalui operasi Nickel Grass, AS membantu Israel dalam perang Yom Kippur (1973) tetapi pada akhirnya AS mendekati Mesir bahkan puncaknya pada perjanjian Camp David antara Presiden Mesir, Anwar Sadat dengan PM Israel, Menachem Begin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar